Baca Juga
sumber: Vijaya Sekhar Munagala |
Aku dan Ayah
Oleh: Tomi Wibisono(Alumni SMKN 1 KRAKSAAN)
Ini Probolinggo,
sebuah kota kecil yang terletak di ujung timur Jawa Timur yang asri. Tak ada
pertambangan besar, tak banyak industri megah. Tak seperti tetangganya
Pasuruan, yang industri mebel terkenal se-Nusantara. Atau tetangga satunya
lagi, Jember yang banyak perguruan tinggi negerinya.
Di Probolinggo hanya ada beberapa perguruan
tinggi dan belum ada yang negeri. Mungkin objek wisatanya yang menjadikan kota
ini dikenal banyak orang. Seperti wisata Gunung Bromo yang memikat perhatian
para wisatawan, baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing.
Probolinggo tak ubahnya seperti kota-kota lain
di Jawa Timur. Kalaupun ada andalannya, barangkali kota ini lebih dikenal
dengan buah mangga, anggur, dan peternakannya. Meski sayangnya, hal itu tak
terlalu merata dan tak banyak yang menikmatinya.
Tak heran jika banyak dari penduduknya yang
memilih merantau. Sebagian besar penduduknya mengadu nasib, bekerja di negeri
orang. Mendatangkan devisa masuk ke dalam negeri, dan membantu memompa nadi
ekonomi kota kecilku ini.
Bersyukur yang kini berangkat sebagai TKI tak
cuma orang-orang desa tak berpendidikan seperti kebanyakan. Sekarang banyak TKI
dari daerahku yang bisa dibilang cukup berpendidikan. Atau setidaknya keluarga
yang ditinggal merantaupun lebih paham mengelola uang.
Uang yang didapat dari gaji merantau di luar
negeri, mereka gunakan sebagai modal usaha. Mulai dari berdagang, buka toko,
atau beternak. Usaha itu dilakukan agar ketika sang pahlawan devisa itu pulang
dari tanah rantaunya, hanya cukup mengurus usaha bermodalkan gajinya selama
menjadi pekerja di negeri orang.
Hal itu yang mengubah wajah kotaku. Kota yang
dahulu cenderung sepi dan tak padat aktivitas, kini mulai ramai. Sepeda motor
tahun keluaran terbaru berseliweran, mulai menggeser delman yang selama ini
setia mengantarkan mbok-mbok ke pasar. Ruko dan
swalayan waralaba pun mulai menjamur. Mengubah kotaku yang dahulunya hijau,
yang kata orang jawa “ijo royo-royo” menjadi “ijo
ruko-ruko” saking banyaknya ruko yang nian bertambah.
Di akte kelahiran, aku tertulis lahir di kota
ini. Kota sebenarnya? Aku tak tahu pasti. Aku ditemukan oleh Ayah di sebuah
kardus di sudut peron terminal bus antar kota. Tak ada nama, tentunya tak ada
alamat. Hanya kardus dengan kain selimut batik yang pesing oleh pipisku.
Aku tak punya tanda lahir. Sehingga andai
sekarang ibu kandungku ada di depanku, melihatku dari ujung kuku sampai rambut,
ia tak akan mengenaliku.
Waktu itu Ayah masih muda dan sudah punya anak
laki-laki umur sepuluh tahun, Mas Yudi, kakak laki-lakiku satu-satunya. Ayah
terpanggil hatinya dan ingin merawatku. Ibu pun setuju, mengingat dari
persalinan Mas Yudi terjadi kelainan yang menyebabkan Ibu tak bisa lagi punya
anak. Padahal Mas ku saat itu sering merengek ingin punya adik. Ayah juga
cerita saat itu ada beberapa keluarga yang ingin mengangkatku jadi anak.
Aku bayi laki-laki yang montok, sehat dengan
kulit yang lumayan bersih untuk ukuran bayi yang ditelantarkan di terminal.
Singkat kata aku sempat harus dirawat di rumah
sakit dengan pengawasan polisi. Koran pun ramai memberitakanku, sampai akhirnya
yang berwenang pun memutuskan untuk “melelang.” Dalam arti membuka peluang bagi
siapa yang ingin mengadopsiku.
Sebuah seleksi pun digelar, dan banyak pula
yang mendaftar. Ada pasangan yang sudah lima tahun belum dikaruniai keturunan,
ada pula yang anaknya sudah lima namun ingin mengangkatku sebagai anak.
“Bahkan,” kata Ayah saat bercerita, “Ada pengusaha kaya dari Surabaya yang
datang jauh-jauh ke Probolinggo hanya untuk mengikuti seleksi orang tua
angkat.”
“Orang itu bahkan sampai berani membayar lima
juta rupiah agar bisa dapat kamu, Nak. Itu jumlah uang yang besar tahun segitu, masih
tahun sembilan puluh sembilan, orang beli nasi lima ratus rupiah sudah
kenyang,” tambah Ayah.
“Tapi kok gak kepilih Yah?” Tanyaku.
“Hmm, Ayah nggak tahu, katanya dulu pak polisi
sempat ditawari uang oleh pengusaha itu. Tapi hebatnya, dia tetap nggak mau
dan tetap adil dalam seleksi.”
“Terus kok bisa Ayah yang kepilih? Ayah kan sudah punya Mas Yudi?” tanyaku ingin tahu.
“Nah itu dia untungnya, Nak, kok yo Ayah sing kepilih, barangkali karena dinilai mapan dan karena Ayah yang nemuin kamu ya?” Ucapnya tersenyum.
Kemudian Ayah menambahkan, “Untung saja kamu
sama Ayah. Kalau nggak, mungkin kamu seumur hidup
nggak bakal pernah merasakan nikmatnya makan thiwul.”
Aku tertawa.
Tapi aku bersyukur Ayah yang akhirnya
merawatku. Ayah memang bukan orang kaya raya, tapi ia bisa berlaku adil padaku
dan Mas ku. Tak membeda-bedakan antara aku dan anak kandungnya.
Pernah suatu ketika Mas Yudi yang baru lulus
SMP, bertengkar hebat denganku yang masih usia enam tahun. Dia marah sampai
keceplosan mengejekku dengan sebutan “anak pungut”. Ayah yang berada tak
jauh dari posisiku mendengar itu. Ayah marah luar biasa. Ia yang seumur hidup
tak pernah main tangan mendidik putranya, hari itu mengambil sebilah tongkat
dan memukulkannya kepada Mas ku.
Setelah kejadian itu, Mas ku minggat tidak
pulang seharian. Ibu menangis, bingung dan takut masku nekat tak mau pulang.
Namun Ayah tetap diam. Baginya merawatku dengan kasih sayang yang adil memang
butuh pengorbanan, meski harus kehilangan anak kandungnya sendiri.
Malamnya aku menangis, ikut merasa bersalah
atas pertengkaranku tadi siang. Bukan karena ibu yang menangis sampai detik
itu, tapi karena Mas ku yang biasa ngeloni aku, tak pulang ke rumah.
Esok paginya Mas Yudi datang, dengan rambut
acak-acakan mengetuk pintu. Semalaman ia tidur di gardu pos kamling kampung
sebelah. Di hadapan Ayah ia menangis terisak. Baru kali pertama itu aku melihat
dia menangis dihadapan ayah. Kemudian meminta maaf kepadaku dan ayah.
Lepas dari kejadian itu, Mas ku rasa-rasanya
makin sayang padaku. Sebetulnya dari dulu pun aku dianggapnya adik kandung. Toh
ia dari dulu sangat ingin punya adik. Tapi karena ulahku yang kadang melampaui
batas kesabarannya.
Sebagai anak kandung, Mas ku tak pernah protes
dengan Ayah yang selalu menyamakan aku dengan dirinya. Pernah suatu waktu,
ketika Mas Yudi masih SMA, ada pemuda kampung sebelah yang mengolok-olokku.
Memanggilku “anak haram”. Aku pulang ke rumah
dengan menangis terisak. Akhirnya aku ceritakan hal itu kepada Mas ku.
Ia tidak terima, siang itu diboncengnya aku
dengan sepeda jengki miliknya menuju ke kampung sebelah. Dicarinya pemuda yang
mengejekku tadi. Sepintas pemuda itu lewat di sampingku, tanpa bicara sepatah
kata pun, Mas Yudi langsung lompat dan menghajar muka pemuda itu. Mereka
berkelahi.
Tubuh pemuda itu lebih besar dibanding dirinya.
Terlebih ada teman-temannya yang membantu mengeroyok. Mas ku yang tak bisa bela
diri, akhirnya jadi bulan-bulanan mereka. Beruntung ada seorang satpam pulang
dinas yang lewat dan melerai mereka. Sontak pemuda dan teman-temannya itu kabur
berhamburan. Akhirnya kami pun diantarkan pulang.
Ayah baru saja pulang kerja ketika kami diantar
pulang pak satpam yang baik hati itu. Kondisi Mas ku lebam dan memar, terlebih
Ayah bukannya membela. Ia justru memarahinya karena berkelahi. Ibu sibuk
menenangkan aku yang pada saat itu menangis, karena tak tega melihat Mas Yudi
dimarahi karena membelaku.
Di keluarga ini aku tak pernah merasa sebagai
anak angkat. Aku sangat mensyukuri hal itu. Semenjak kecil hingga kini, tak
pernah sekalipun Ayah memukulku. Sekalipun Mas ku, mungkin hanya sekali saat ia
bertengkar denganku waktu itu.
Ketika suatu waktu aku tanya kepada Ayah,
kenapa Ayah tak pernah memukulku, sambil tertawa Ayah balik menanya,
“Kamu ingin Ayah mendidikmu dengan pukulan?”Aku menggeleng.“Terus kenapa nanya?”“Pingin tahu Yah,” jawabku.
Mas Yudi yang pada saat itu nonton televisi pun
melirihkan volumenya, ikut penasaran ingin tahu jawaban Ayah.
“Tanya Ibu, biar Ibumu yang jawab,” kata Ayah memandangi Ibu yang lagi menyiyangi sayuran.“Soalnya Nak, kalau kami mendidik kalian dengan pukulan, kalian akan menirunya dan mempraktekkannya untuk memukul teman-teman kalian,”“Ooo…, Jagoan…,” tukas Mas ku.“Bukan jagoan itu namanya, tapi preman,” Ayahku meluruskan.
Kehangatan inilah yang membuatku nyaman berada
di keluarga ini. Namun kehangatan yang melingkupi keluarga kami berkurang,
karena Mas Yudi harus pergi dari Probolinggo. Selepas SMA, ia pindah ke Jember
untuk kuliah.
“Mas Yudi calon insinyur,” ucapku bangga, waktu itu aku masih duduk di bangku SD.
***
Tidak ada yang tahu pasti apa dan bagaimana
penyebabnya. Semenjak di Jember Mas ku mulai sakit-sakitan. Beberapa kali ia ke
dokter, mereka bilang Mas ku terkena penyakit maag. Padahal seingatku, dia orang
yang tak pernah telat makan, bahkan semenjak kuliah boleh dibilang tubuhnya
makin berisi.
Tak butuh waktu lama, perlahan tapi pasti
penyakit itu menggerogoti tubuhnya. Mas Yudi mulai sering sakit-sakitan, jarang
masuk kuliah. Ayah meyuruhnya ambil cuti kuliah dan pulang ke rumah. Setidaknya
ada yang merawat di rumah, daripada di rumah kos merepotkan teman-temannya.
Ketika pulang, bobot tubuhnya sepertinya
menyusut. Tulang pipinya terlihat menonjol membuat matanya terlihat makin
besar. Padahal setahun sebelum berangkat kuliah tubuhnya masih tegap dan
berisi. Kini tubuhnya kurus namun perutnya tetap buncit. Ini yang membuat ayah
curiga. Akhirnya Mas ku dibawa ke salah satu rumah sakit swasta, kali ini
dokter spesialis penyakit dalam yang menanganinya.
Kecurigaan ayah terjawab. Mas ku tidak terkena
penyakit lambung. Dari beberapa pemeriksaan, dokter memberitahu Ayah bahwa Mas
Yudi menderita kanker hati stadium tiga. Ayah dan Ibu syok mendengar berita
ini. Dokter memperkirakan bahwa Mas ku tak akan lama lagi bertahan.
Orang tua mana yang tak remuk hatinya mendengar
hidup anaknya tak lama lagi. Namun di hadapan Mas ku, ayah dan ibu selalu
mencoba kelihatan tegar. Mereka menyemangati dia untuk tetap berjuang melawan
penyakitnya.
Beragam pengobatan alternatif pun di coba oleh
Ayah. Mulai dari madu, obat herbal, dan masih banyak lagi. Namun hasilnya tetap
sama. Namuh Ayah dan ibu tak pernah sedikitpun menyerah. Mereka selalu berdoa
untuk kesembuhan anaknya. Hingga pada akhirnya takdir Tuhan yang berkuasa. Saat
itu usiaku sepuluh tahun, pagi usai solat subuh, satu-satunya calon insinyur di
kampungku menghembuskan nafas terakhirnya. Mas ku sudah tiada.
Saban hari aku menangisi kepergiannya. Kakak
yang aku sayangi, yang merawat dan mengajakku bermain. Kakak yang dulu dengan
gagah berani melawan pemuda kampung sebelah karena mengejekku, kini kalah
dengan kanker ganas yang tak ia ketahui telah menggerogoti tubuhnya
bertahun-tahun.
***
Ujian kehilangan seorang anak laki-laki
satu-satunya yang merupakan darah dagingnya sendiri, rupanya belum selesai.
Enam tahun pasca Mas ku meninggal, aku masuk
SMA. Aku tumbuh menjadi anak tunggal yang manja, memasuki fase nakalnya anak
remaja. Beberapa kali aku membolos sekolah, berkelahi, bahkan terlibat tawuran
hingga sempat Ayah dipanggil ke sekolah. Ayah hanya bisa geleng-geleng kepala,
pusing dengan kelakuanku yang kian nakal. Beruntung meski nakal aku tak pernah
sekalipun bersentuhan dengan alkohol, ataupun narkoba.
Tak cukup berhadapan dengan kenakalanku, di saat yang sama Ayah ditipu oleh seorang rekan bisnisnya. Barang dagangan senilai ratusan juta raib dari tangannya. Di saat yang sama, orderan mulai sepi, ditambah bahan baku yang harganya melambung tinggi.
Perusahaan yang dirintis Ayah terpaksa
menghadapi pemangkasan. Dari sepuluh pegawai yang biasa membantunya di kantor,
terpaksa harus merumahkan seluruhnya. Rumah yang kami tempati pun terpaksa
dijual untuk menutupi hutang-hutang Ayah. Kami pindah ke sebuah rumah kontrakan
kecil di pinggir kota.
Dua masalah sekaligus tampaknya tak cukup berat
untuk ayahku. Di saat itu pula Ayah mendapati Ibu berselingkuh dengan salah
satu rekannya.
Tiga masalah besar di pundaknya. Aku masih
ingat bagaimana ayahku mati-matian mencoba bertahan dan mengembalikan semuanya.
Namun Allah berkehendak lain, ada yang didekatkannya, ada pula yang
dijauhkannya.
Badai itu berakhir dengan aku yang akhirnya
insaf pasca tawuran yang nyaris merenggut nyawaku. Semenjak itu aku beralih
pergaulan, dari kumpulan para “preman” di sekolah, menjadi anak “rohis” di
musolla. Bersyukur aku diterima baik di pergaulan baruku.
***
Perlahan namun pasti, bisnis Ayah mulai
membaik. Berbekal pinjaman dari koperasi, dibangunnya kembali reruntuhan bisnis
yang dibangunnya. Satu persatu pegawai yang dahulu ia rumahkan, dipanggilnya
kembali. Ada yang benar-benar kembali, namun ada pula yang memilih jalan
sendiri. Akhirnya dalam jangka dua tahun, bisnisnya pun kembali jaya.
Namun dari kesemuanya, hanya Ibu satu-satunya
yang tak bisa Ayah pertahankan. Aku tak mengerti masalah apa yang mendasari
kerasnya hati Ibu hingga tak mau kembali pada Ayah. Bertanya pada Ayah pun aku
tak berani rasanya.
Ayah sudah menawarkan maaf dan memberinya
kesempatan. Namun, Ibu tidak memedulikannya. Dipilihnya lelaki kaya, rekan
bisnis Ayah sebelumnya. Setelah istikharah yang panjang, Ayah akhirnya
menceraikan Ibu.
Aku secara sadar memilih untuk tinggal bersama
Ayah. Khawatir ada benih-benih kebencian pada diriku, pada saat itu pula Ayah
tak lagi banyak membicarakan soal ibu.
“Kau tak boleh membencinya Nak, Dia memang
bukan lagi istri Ayah, tapi selamanya dia tetaplah Ibumu.”
Aku mengangguk, air mata merembes dari mataku
mendengar ayah mengucapkan itu.(*)
Penulis Cerpen: Tomi Wibisono (Alumni SMKN 1 KRAKSAAN)
Biografi Penulis: klik disini
0 Comments